Perkembangan Animasi Dunia

| Selasa, 21 Desember 2010 |

Frame Frame Animation
Animasi Sederhana
Perkembangan animasi tersebut juga termasuk berkembangnya keinginan untuk terus menggambar format-format baru. Tercatat Emilie Reynauld dari Perancis yang berlanjut ke Thomas Alva Edison dan Lumiere, adalah orang-orang yang mengawali pembuatan film dengan menggunakan listrik. Sebuah kamera merekam motion picture di atas film, yang semula berjumlah 12 gambar per detik kemudian dikembangkan menjadi 16 gambar per detik, hingga menjadi 24 gambar setiap detik demi membuat gerakan gambarnya menjadi halus. Sehingga bila dikalkulasikan semuanya adalah 1440 gambar tiap menitnya, atau sekitar 86.400 gambar per detiknya untuk durasi 1 jam.

Sementara itu untuk memanipulasi 24 gambar tersebut, beberapa animator dan kebanyakan dari limited animation animator membuatnya jadi 12 gambar dengan menggunakan gaya gerakan animasi “in two” yang memotret tiap gambarnya sebanyak 2 kali, sehingga akan tetap didapatkan 24 meski tidak sehalus 24 gambar aslinya (full animation). Dan gaya “in two” inilah yang turut dikembangkan studio-studio animasi di Indonesia.

Sebenarnya secara umum, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah diperkenalkan pada film animasi global, sejak lama. Seni Wayang Kulit dan Wayang Golek sebenarnya merupakan cikal bakal daripada animasi itu sendiri. Namun seusai Indonesia merdeka, barulah terpetik keinginan untuk membuat film animasi full sendiri. Setelah mengalami berbagai perubahan, Pusat Film Negara (PFN) mengirim Pak Ooq (Dukut Hendronoto) ke studio Walt Disney di Amerika untuk belajar teknik pembuatan film animasi pada tahun 1950-an. Sepulang dari Amerika, Pak Ooq mulai membuat beberapa film animasi dengan teknik cel animation dengan durasi sepanjang 5 menit berjudul Si Doel Memilih (sebuah iklan propaganda Pemilu).

Nama lain yang juga masih konsisten menggeluti animasi dan kartun adalah Dwi Koendoro dengan karya fenomenalnya Panji Koming, Batu (film animasi dengan kamera 8mm) tahun 1974, Trondolo (1975) serta Beruang (bersama Pramono dengan teknik object animation) tahun 1976. Ada juga Suyudi (Pak Raden) dengan animasi berteknik handpuppet animation-nya berjudul Si Unyil. Setelah era tersebut, mulai bermunculanlah begitu banyak Production House yang menggeluti animasi di Indonesia, seperti yang pernah dikenal: Index Production House (serial Bima 2000 dan serial Sunan Kalijaga), Radian – Dina Mariana (serial non-fiksi Aikon), Red Rocket (studio animasi di Bandung dibawah pimpinan Poppy Palele), Bening (serial legenda rakyat), Urakurek (serial Mahabharata), Kasatmata (film layar lebar Homeland), MSVpictures (Jatayu dan Petualangan Abdan), Dreamlight World Media Jogjakarta (TVC World Cup 2010 Nusantara dan Serial DUFAN) dan masih banyak lagi.

Dewasa ini kesukaran utama tentang dunia animasi di Indonesia adalah bagaimana cara agar animasi lokal bisa ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi nasional. Bahan dasar yang utama, yaitu kertas, telah mulai naik harganya. Kebutuhan hidup semakin naik yang berarti “kesejahteraan” untuk para animatornya juga harus semakin naik, meski itu belum selalu terjadi di beberapa studio animasi. Dan sistim pembelian dari stasiun-stasiun televisi nasional sedikit banyak tidak bisa menutup biaya produksi per episodenya. Dari sisi script pun demikian. Masih banyak animasi lokal yang kurang digemari peminatnya di Indonesia sendiri. Kurangnya riset dan survey cerita yang diminati masyarakat bisa menjadi salah satu pemicunya. Akibatnya yang kerap terjadi adalah studio-studio animasi itu mengerjakan animasi sebatas hanya sebagai ”penjahit”, artinya hanya sebatas mengerjakan order proyek bukan sebagai kreator full. Lebih ironis lagi bahwa mereka termasuk mengerjakan dari negara lain, diantaranya Jepang dan Malaysia. Namun tidak bisa disalahkan dan tentu saja bisa dimaklumi karena studio animasi juga butuh sesuatu untuk bisa tetap survive diantara terjangan perkembangan dunia advertising dan multimedia. Sudah seharusnya pemerintah memperhatikan dunia kreatif terutama di dunia seni dan teknologi, tidak melulu berkutat di infrastruktur. Tetaplah semangat para animator!

sumber:
1. Buku The Technique of Film Animation (John Halas)
2. Buku Keajaiban Animasi (Gatot Prakosa)
3. Animix (Dwi Koendoro “Berkenalan dengan Animasi”)

Comments

Leave a Reply


About Me

Saya seorang teknisi informatika yang lebih tertarik beranimasi, yang kemudian mengantarkan saya untuk belajar menulis, dan akhirnya menjadikan saya designer, animator, writer dan drawing artis. Saya ada di facebook dan twitter. Salam damai.

Categories